”Tekstil merupakan industri pelopor di era Islam,” ungkap
Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk Islamic
Technology: An Illustrated History. Pada era itu, standar tekstil
masyarakat Muslim di Semenajung Arab sangat tinggi. Tak heran, jika
industri tekstil di era Islam memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap Barat.
Salah satu produk tekstil yang berkembang di era Islam dan masih
bertahan hingga saat ini adalah sarung — kain lebar yang dijahit pada
kedua ujungnya sehingga berbentuk seperti tabung. Menurut catatan
sejarah, sarung berasal dari Yaman. Di negeri itu sarung biasa disebut
futah.
Sarung juga dikenal dengan nama izaar, wazaar atau ma’awis.
Masyarakat di negara Oman menyebut sarung dengan nama wizaar. Orang
Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar. Penggunaan sarung telah
meluas, tak hanya di Semenanjung Arab, namun juga mencapai Asia Selatan,
Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa.
Dalam Ensiklopedia Britanica, disebutkan, sarung telah menjadi
pakaian tradisomal masyarakat Yaman. Sarung diyakini telah diproduksi
dan digunakan masyarakat tradisional Yaman sejak zaman dulu. Hingga
kini, tradisi itu masih tetap melekat kuat. Bahkan, hingga saat ini,
futah atau sarung Yaman menjadi salah satu oleh-oleh khas tradisional
dari Yaman.
Orang-orang yang berkunjung ke Yaman biasanya tidak lupa membeli
sarung sebagai buah tangan bagi para kerabatnya. Sarung awalnya
digunakan suku badui yang tinggal di Yaman. Sarung dari Yaman itu
berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel yaitu bahan
pewarna yang berwarna hitam. Sarung Yaman terdiri dari beberapa
variasi, diantaranya model assafi, al-kada, dan annaqshah.
Hingga kini, para pekerja modern di Yaman masih banyak yang
menggunakan sarung. Para petugas keamanan di Yaman pun boleh mengenakan
sarung sebagai pakaian dinasnya. Orang-orang Yaman tidak menggunakan
sarung hingga mata kaki seperti masyarakat Indonesia.
Sarung juga telah menjadi salah satu pakaian penting dalam tradisi
Islam di Indonesia. Tradisi menggunakan sarung di Tanah Air tersebar di
berabagi wilayah. Pria Muslim di Indonesia biasa menggunakan sarung
untuk keperluan ibadah, upacara perkawinan maupun acara adat.
Kain sarung terbuat dari bermacam-macam bahan, baik berupa katun
maupun polister. Sedangkan motifnya bermacam-macam baik garis vertikal,
horisontal, maupun kotak-kotak dengan warna yang beraneka ragam seperti
merah, biru, hijau, putih, maupun hitam.
Tradisi menggunakan sarung di Indonesia boleh jadi mulai berkembang
setelah masuknya ajar Islam yang dibawa para saudagar dari Arab,
khususnya Yaman. Sarung juga merupakan pakaian tradisional para nelayan
Arab yang berasal dari Teluk persia, Samudera Hindia, maupun Laut Merah
sejak dulu. Sarung juga digunakan olah orang-orang Turki sebagai baju
tidur pada abad pertengahan.
Sebenarnya di dunia Arab, sarung bukanlah pakaian yang diidentikkan
untuk melakukan ibadah seperti sholat. Bahkan di Mesir sarung dianggap
tidak pantas dipakai ke masjid maupun untuk keperluan menghadiri
acara-acara formal dan penting lainnya. Di Mesir, sarung berfungsi
sebagai baju tidur yang hanya dipakai saat di kamar tidur.
Di Indonesia, sarung menjadi salah satu pakaian kehormatan dan
menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi. Tak heran jika sebagian
masyarakat Indonesia sering mengenakan sarung untuk sholat di masjid.
Laki-laki mengenakan atasan baju koko dan bawahan sarung untuk sholat,
begitu pula wanita mengenakan atasan mukena dan bawahan sarung untuk
sholat.
Sarung dipakai berbagai kalangan baik anak-anak, remaja, maupun
orang tua tidak mengenal ras maupun golongan, baik kaya maupun miskin.
Yang jelas, sarung telah menjadi pakaian ciri khas umat Islam Tanah Air.
Sarung tak hanya dikenakan kalangan santri pondok pesantren saja, tapi
seluruh lapisan masyarakat juga sudah familiar dan akrab dengan sarung.
Secara teologis, sarung sudah diklaim menjadi salah satu pakaian
tradisi Muslim di Indonesia semacam pakaian untuk sholat, pergi ke
masjid, pergi tahlilan ke tempat saudara maupun teman yang meninggal,
dan memperingati hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha.
Barang kali ada beberapa faktor yang membuat sarung begitu melekat
dalam tradisi Islam di Indonesia, antara lain; sarung sangat mudah
dipakai dan simpel. Selain itu ukurannya yang panjang mudah untuk
menutupi aurat dengan baik. Sarung juga longgar dan tebal sehingga tidak
menunjukkan lekuk tubuh pemakainya.
Jika merujuk pada salah satu hadits, penggunaan sarung kemungkinan
besar juga sudah dikenal pada zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat
dalam sebuah Hadits Riwayat Bukhari- Muslim. Dari Sahal bin SaÃad
dikisahkan bahwa Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita yang berkata,
îYa Rasulullah kuserahkan diriku untukmuî. Wanita itu berdiri lama lalu
berdirilah seorang laki-laki yang berkata,î Ya Rasulullah kawinkan
dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya.î
Rasulullah berkata,î Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar?
Dia berkata, ìTidak kecuali hanya sarungku iniî. Lalu Rasulullah
menjawab, ìBila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya
sarung lagi, carilah sesuatu.î Dia berkata, îAku tidak mendapatkan
sesuatu pun.î
Rasulullah berkata, îCarilah walau cincin dari besi.î Pria itu
mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah
berkata lagi, îApakah kamu menghafal Alquran?î Dia menjawab, îYa surat
ini dan ituî sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah
Rasulullah, îAku menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan
Alquranmu.î Dari riwayat tersebut, sarung sepertinya telah digunakan
sejak zaman Nabi sebagai pakaian untuk menutupi aurat.
Sarung, Simbol Perlawanan Terhadap Kolonialisme
Sarung tampaknya sudah menjadi bagian dari identitas Muslim di
Indonesia. Bahkan, sarung juga identik dengan santri yang mondok di
pesantren. Mereka sering disebut sebagai ‘kaum sarungan’. Hampir di
semua pesantren tradisional, para santri menggunakan sarung untuk
kegiatan belajar mengajar maupun aktivitas sehari-hari.
Sarung juga telah menjadi simbol perlawanan. Sebagai sebuah
wilayah yang mayoritas beragama Islam, sarung sudah menjadi sebuah
simbol perlawanan terhadap negara penjajah Belanda yang terbiasa
menggunakan baju modern seperti jas.
Para santri di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai
simbol perlawanan terhadap budaya Barat yang dibawa kaum penjajah. Kaum
santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung di
mana kaum nasionalis abangan telah hampir
meninggalkan sarung.
Itulah yang membuat sarung identik dengan budaya Islam di
Nusantara. Sejumlah bukti sejarah juga menunjukkan para aktivis
kemerdekaan awal yang berasal dari kalangan santri menggunakan sarung
untuk melakukan berbagai macam aktivitas, baik aktivitas kenegaraan
maupun ibadah.
Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah
seorang pejuang Muslim Nusantara yakni KH Abdul Wahab Chasbullah,
seorang tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU). Abdul Wahab merupakan
kiai merdeka , sebab dalam sepanjang sejarah perjuangannya, kiai asal
Jombang itu memang cenderung berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak
mudah terpengaruh lingkungan sekeliling.
Suatu ketika, Abdul Wahab pernah diundang Presiden Soekarno.
Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan
dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan
jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas
dilengkapi dengan celana panjang.
Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung
bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap
konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap
budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di
hadapan para penjajah.
Abdul Wahab menunjukkan pentingnya menggunakan sarung sebagai
warisan budaya dan identitas nasonalisme. Rupanya perjuangan berat kaum
pesantren untuk menegakkan identitas sarung sebagai simbol perlawanan
terhadap budaya kaum kolonialis Belanda membuah hasil. Saat ini, sarung
menjadi simbol kehormatan dan kesopanan yang sering digunakan untuk
berbagai macam upacara sakral di tanah air.
Harga Rp. 109.900,-
Harga Rp.89.900,-